The High Maintenance Baby

Kehadiran keponakan baru di rumah, mau nggak mau membuat saya belajar banyak hal baru dalam hidup. Mulai dari yang bersifat teknis seperti cara mengganti popok, membuat susu dengan takaran dan temperatur tertentu, membedakan jenis-jenis tangis bayi –lapar-haus-ngompol-nggak enak badan—cara menggendong yang baik dan benar tanpa khawatir kalau tulang-tulang mudanya akan terkilir, memandikan bayi tanpa membuat dia kelelep, dan sebagainya. Termasuk mendapat knowledge yang buat saya dulu terdengar nggak masuk akal aja. Kayak misalnya nyokap yang bersikeras kalau tengah malam si baby ngoceh-ngoceh sendiri kita harus jawab karena kalau nggak maka "mahluk-mahluk lain" lah yang akan menjawab dia, atau mitos-mitos lainnya yang berhubungan dengan bayi dan ibu paska melahirkan. Yes, di rumah kami keponakan kami ini memang everyone's baby. So everyone in the family (not only his mother) memang punya equal responsibility to keep the baby healthy yet happy. What a baby. Uh?

Anyway, satu hal yang saya temukan lagi seputar baby's planet ini adalah saat minggu-minggu pertama saya belanja kebutuhan dia di supermarket. It's so damn expensive. Hampir dua bulan ini dia memang sudah tidak menyusu ASI eksklusif lagi, jadi memang nggak ada pilihan kecuali susu formula. Atas rekomendasi sang dokter, ia pun minum susu merek tertentu yang pada waktu itu satu kalengnya seharga Rp 165.000,- dan itu pun hanya untuk…tiga hari saja. So it cost us more than a million per month untuk susu doang.

Again, kata nyokap karena dia anak cowok memang menyusunya lebih kuat ketimbang bayi cewek. Knowing it's gonna be for the long run, nyokapnya dan nyokap saya pun mencoba mengakali dengan trial dan error beberapa merek susu dengan harga yang lebih terjangkau, ya nggak jauh beda juga sih harganya. Tapi at least less expensive dan lumayan pocket friendly buat keluarga abang saya yang namanya juga keluarga muda tentunya masih banyak harus struggle untuk kebutuhan pokok yang lain juga.

And you know what, being a high maintanance baby himself (ugh, i wonder from whom he inherited that gene from $@5%6^), dia malah langsung diare dan hiperaktif nggak jelas aja gitu pas susunya diganti. Oke, kami pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke susu merek semula. Ya kalau dianalogikan mungkin susah juga ya kalau dari biasa naik mercy kini tiba-tiba harus naik bajaj.

Dan tadi malam, saat giliran saya beli susu di supermarket, saya lumayan terkaget-kaget melihat harga susunya yang udah naik jadi Rp 183.000/kaleng. I was like, whattttt??? Yeah rite, sekarang saya memang sudah menjelma kayak ibu-ibu berdaster yang harga naik 500 perak aja ngomel dan kalau bisa nawar (well, now I can understand why juga sih finally…), but there must be an explanation kan kalau harga susu bisa naik. Di era facebook ini mana bisa bayi cuma dikasih air tajin, kan?

Lagi-lagi sekarang saya bisa paham kenapa waktu zaman kerusuhan '98 dulu banyak ibu-ibu muda yang lebih memilih menjarah susu formula sampai berkaleng-kaleng ketimbang benda-benda elektronik (walaupun kalau ditakar dosanya sama aja ya…). Ini tentu saja terlepas dari kebutuhan lain seperti baju yang trendi (baju siang, baju malam, baju ke gereja, baju jjs ke mal) yang umurnya rata-rata nggak lebih dari hitungan bulan karena proses pertumbuhan sang bayi itu sendiri, biaya imunisasi, biaya ke dokter dan suplemen lainnya.

Dalam perjalanan pulang tadi malam sambil nenteng kaleng-kaleng berat itu saya mikir, proses "merogoh kocek" ini tentu nggak akan berhenti sampai si bayi akhirnya menetas jadi "somebody" kelak. Dan untuk tujuan itu, tentu saja ada tuition fee yang harus dibayar, les ini-itu, ke dokter, uang buku, biaya senang-senang ala anak muda, dan lain sebagainya. Moral of the story dari cerita ini (selain misuh-misuh saya soal harga susu), ternyata sebagai anak kita tuh memang "high cost" banget buat orangtua kita, akan tetapi mereka toh tetap melakukannya dengan senang hati. Nggak masalah kalau harus menambah jam lembur, nyari sidejobs atau mengencangkan ikat pinggang dan pasang kacamata kuda saat ke mal, yang penting kebutuhan anak tercukupi.

Secondly, oh well…here's the thought; with this "expensive world" am not sure I can afford to have kids of my own yet.They're way too expensive. dulu aja mahal, apalagi sekarang? I went to private schools in order to get the best education (I know my dad worked his off that hard to pay my tuition), so I want my children to have at least the same living standard with me. And for that purpose, either I must have a very well paid job, or …marrying the rich guy in town. Which one's best? :)

0 komentar:

Post a Comment