Belakangan ini saya punya kebiasaan baru: mengecek friendster teman-teman lama saya. Mulai dari teman sekolah, kuliah sampai rekan-rekan di kantor lama. Entah apa tujuan awalnya, sekadar iseng saja mungkin. Sekadar ingin tahu apa yang sedang meereka kerjakan, siapa saja pacar-pacar mereka atau seperti apa model rambut terbaru mereka. To my surprise, bukan hanya saya melihat foto-foto dengan gaya terbaru mereka, tapi juga foto…anak-anak mereka. Wait a minute, does life has just abandoned me somewhere? Teman-teman saya itu bukan hanya telah memiliki pacar atau mungkin mengejutkan saya dengan fakta bahwa (sebagian besar) mereka sudah menikah, tapi juga memiliki anak.
Jujur, saya sempat memusuhi friendster untuk sekian lama, buat saya itu hanya ajang pamer kebahagiaan. Saat semua orang sepertinya berlomba-lomba memamerkan bahwa they belong to somebody. Lihat saja foto-foto mesra plus caption yang tidak kalah ‘show off-nya’, seperti, “with my baby” atau “I love you forever”. Buat yang ingin tetap berfriendster tanpa minder, cantumkan saja status “it’s complicated” atau mungkin “domestic patnership” bahkan tanpa tahu apa arti yang sebenarnya. Yeah right!
Lantas saya pun ngambek terhadap friendster. Waktu berjalan, umur tak bisa dihentikan, hari-hari yang terlewatkan telah berganti menjadi kenangan. Dan saya pun mulai kembali membuka situs pertemanan ini. Waalaupun itu berarti saya kembali berhadapan dengan kenyataan bahwa saya masih single. Still. Foto-foto yang tercantum dalam galeri foto saya tetap jadi ajang narsis pribadi atau aneka pose kurang penting dengan teman-teman se-geng.
Ya, saya memang masih single. Di saat orang-orang seumuran saya mungkin sedang dipusingkan dengan rencana pilih gedung dan desain undangan pernikahan atau disibukan dengan kegiatan memandikan dan mengganti popok bayi, saya tetap hidup di planet saya sendiri. Memanjakan diri dengan berbelanja sesuka hati, membeli beberapa sepatu (padahal kemarinnya baru beli sepatu juga), janjian ngopi dan ngerumpi sampai pagi, dan bahkan menghabiskan wiken dengan tidur sampai matahari sudah meninggi. Apa saya sudah siap?
Ternyata menikah bukan hanya urusan membagi hati, tapi juga urusan waktu. Apakah saya sudah siap membagi pikiran saya dengan banyak hal di luar deadline pekerjaan, acara nongkrong bersama teman-teman atau keinginan saya untuk menghabiskan akhir pekan dengan agenda ke salon dan gym? Apakah saya siap disibukkan dengan urusan rumah tangga dan tetek bengek lainnya? Kembali ke pertanyaan semula, apakah saya sungguh-sungguh siap? Sad to say, saat saya mencoba jujur menjawab pertanyaan ini, jawabannya adalah: BELUM. Ternyata saya memang masih harus banyak belajar. Belajar bersabar menunggu dengan waktu mungkin adalah salah satunya. Till the time comes, saya akan mencoba menikmati kesendirian saya sebaik-baiknya (kali ini minus perasaan mellow, tentunya ya…), bukankah ada yang mengatakan bahwa segala sesuatu akan indah pada waktunya? yang jelas saya mengangguk, mengamini kalimat tersebut. Kalau Anda?
0 komentar:
Post a Comment