Demi Anak, Kugadaikan Kesetiaanku

Apa yang terjadi dengan rumah tanggaku ternyata tak seperti yang pernah terbayangkan. Padahal sebelumnya aku begitu yakin aku bisa membawa bahtera rumah tanggaku dengan baik, menjadi nahkoda kapal yang bijak dan tahu persis kemana arah yang harus aku lalui. Namun pada kenyataannya perahu itu menjadi terombang-ambing tanpa arah yang jelas, gelombang kehidupan mendamparkannya pada keadaan yang tak bisa aku duga.

Tahun-tahun pertama pernikahan kami memang berjalan dengan sempurna, nyaris tak ada persoalan yang tak bisa kami selesaikan. Kebahagiaan sepertinya akan menjadi miliki kami selamanya. Hubungan antara keluarga kamipun berjalan dengan sangat harmonis dan saling mendukung satu sama lain. Kala itu sepertinya tak akan ada yang dapat menggantikan kebahagiaan kami, selain mendapati hubungan keluarga yang harmonis.

Memasuki tahun keempat, kebahagiaan kami bertambah dengan hadirnya buah hati pertama kami. Ia bayi yang lucu dan cantik. Semua anggota keluarga kami menyambutnya dengan suka cita, bak kedatangan tamu agung yang sudah lama dinanti-nantikan. Semua perhatian tercurah pada putri kecil yang baru saja terlahir dari rahim istriku tercinta.

Pun kami berdua sudah membayangkan, si kecil yang lucu akan tumbuh besar menjadi sosok gadis yang cantik dan pintar, pokoknya hal-hal indah yang akan membuat kami bangga. Toh saat itupun kami sudah bangga memiliki putri kecil yang cantik, lucu dan sehat. Rencana-rencana kedepanpun sudah kami susun sedemikian rupa agar anak kami bisa memperoleh kehidupan yang serba indah dan tercukupi.

Tapi rupanya apa yang kami angan-angankan tidak semua menjadi kenyataan. Justru sebaliknya angan-angan itu menjadi bumerang buatku, karena aku harus pontang-panting mencari tambahan penghasilan agar keinginan kami untuk mencukupi semua kebutuhan si kecil dapat terpenuhi. Maklumlah, kami berdua memang hanya memiliki penghasilan yang tak seberapa besar.

Awalnya keadaan itu tak membuat aku terbebani, malah sebaliknya aku jadi bertambah semangat dalam menjalani keseharianku. Namun lama-kelamaan keadaan itu membuat aku semakin terjepit. Semakin hari aku tak bisa lagi menutupi biaya untuk putriku tercinta, aku terpaksa gali lubang tutup lubang, hutang kesana-kemari demi mencukupi kebutuhan itu. Keluhan mulai muncul dari istriku, ia takut jika keluarganya mengetahui hal ini, karena selama ini orang tuanya menganggap kami sebagai pasangan yang cukup mapan, terutama anggapan mereka terhadap penghasilanku.

Hingga akhirnya aku mencurahkan keluh kesahku kepada atasanku di kantor, secara tak terduga perempuan setengah baya itu memberikan empati yang luar bisa terhadapku. Sejak hari itu bosku memberiku begitu banyak bantuan, dari mulai dana tunai sampai barang-barang untuk keperluan anakku. Awalnya aku tak mengendus ada kepentingan lain di balik kebaikannya itu.

Baru belakangan aku menyadari bahwa semua yang dilakukannya itu merupakan awal dari jeratannya terhadapku. Ia memang meminta aku untuk membalas apa yang telah dilakukannya untukku. Ia memang tak meminta aku untuk membayar semuanya dengan uang, karena ia tahu bahwa aku tak akan mampu membayarnya. Ia cuma meminta aku membayarnya dengan ‘kemampuannku’ di atas ranjang.

Awalnya aku tak bisa menerimanya, bukannya munafik. Aku memang tak ingin menodai ikrar kesetiaanku saat di hadapan penghulu. Tapi kemudian aku berbalik pikir, mungkin ini jalan satu-satunya agar aku bisa mendapatkan apa yang aku inginkan. Singkat cerita, mulai saat itu aku selalu memenuhi keinginannya, memuaskannya dan melepaskan dahaga seksnya yang selama ini tak ia dapatkan dari suaminya.

Lama-kelamaan aku merasa bahwa perbuatanku ini tak lagi bisa aku pertahankan. Aku mulai sadar dan merasa takut perselingkuhan ini akan tercium oleh banyak pihak, terutama oleh keluargaku. Aku juga merasa takut jika kelak anakku akan menjadi anak yang buruk budi pekertinya, karena ia aku besarkan dengan uang yang tidak selayaknya aku gunakan, dengan uang hasil dari menggadaikan kesetiaan dan tubuhku.

Aku ingin menghentikan perselingkuhan ini secepatnya, tapi semua itu tak bisa aku lakukan, karena bosku mengancam akan membongkar semua rahasia ini di hadapan istriku dan aku tak ingin semuanya merobohkan bahtera rumah tangga yang sedang aku bangun. Aku dengan terpaksa terus mengikuti arus yang terlanjur menyeretku dalam pusaran kenistaan, penyelewengan, entah sampai kapan…. (cerita berdasarkan pengalaman seseorang) not me :P

0 komentar:

Post a Comment